Halaman

Kamis, 09 Juni 2011

POST-DEVELOPMENT: MENINJAU ULANG ‘PEMBANGUNAN’

oleh: Muhtar Habibi

Pendahuluan
‘Pembangunan’ adalah ide yang paling sering dibicarakan dalam upaya mengatasi ‘keterbelakangan’ di Dunia Ketiga. Sejak masa pasca Pencerahan Eropa hingga era pasca Perang Dunia Kedua (PD II), pembangunan diklaim untuk membantu membebaskan manusia di belahan dunia lain dari belenggu ketidakdewasaan dan irasionalitas mereka. ‘Tanggungjawab’ untuk mendewasakan manusia di wilayah luar Eropa (Dunia Ketiga) menjadi legitimasi jaman kolonisasi. Sementara pasca PD II, ‘tanggungjawab’ tersebut diberi label yang lebih spesifik: ‘pembangunan’, yang beroperasi dengan berbagai institusi penopangnya. Pembangunan menjadi sejenis panacea bagi seluruh masalah di Dunia Ketiga. Bahkan pembangunan sudah menjadi semacam ideologi tersendiri (Easterly, 2007). Easterly menyatakan:

“Like all ideologies, development promises a comprehensive final answer to all of society’s problem, from poverty to illiteracy to violence and despotic rulers. It shares the common ideological characteristic of suggesting there is only one correct answer, and it tolerates little discent” (2007: 31).


‘Pembangunan sebagai ideologi’ ini ternyata tidak membawa hasil memuaskan. Hingga sekarang, masalah besar yang dihadapi pembangunan di Dunia ketiga: kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, disintegrasi sosial dan degradasi lingkungan bukannya berkurang, tapi justru bertambah parah (Korten, 1990; Everett, 1997; Lieten, 2002). Belum lagi persoalan budaya terkait tercerabutnya identitas kultural mereka maupun hancurnya nilai-nilai lokal. Kegagalan pembangunan tersebut telah mendorong kritik terhadap strategi pembangunan arus utama (modernisasi). Berbagai strategi pembangunan alternatif pun dikemukakan sejak era 1970-an: dari mulai pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia ‘human centre-development’; kebutuhan dasar ‘basic needs’, hingga strategi pembangunan yang berkelanjutan ‘sustainable development’ (Mathews, 2004: 376). Atau juga dari kalangan Marxis yang mengajukan paradigma ‘dependensia’ (Prebisch 1950; Frank, 1966; Cardoso, 1969). Pada dasarnya berbagai pendekatan tersebut mengajukan suatu pembangunan alternatif jenis lain (another development) dari strategi pertumbuhan ekonomi ala modernisasi.

Baru pada awal dekade 1990-an, muncul sebuah kritik terhadap pembangunan yang lebih radikal. Kelompok pengkritik yang diinspirasi oleh post-modernisme ini menamakan diri mereka sebagai Post-Development (selanjutnya disingkat PD). Para penulis PD seperti: [Sachs (1992); Escobar (1992, 1995); Esteva (1992, 1998); Rahnema (1992, 1997); Nandy (1992)], mengkritik tajam ide ‘pembangunan’ itu sendiri. Mereka semua mendeklarasikan penolakannya terhadap gagasan pembangunan secara keseluruhan. Ide pembangunan dianggap hanyalah cara Barat untuk mengendalikan dan menguasai Dunia ketiga. Para penulis PD sepakat untuk mencari ‘alternatif bagi pembangunan’ daripada mencari ‘pembangunan alternatif’. Setelah hampir dua dasawarsa kemunculannya, gagasan PD tetap mendapat perhatian utama dari berbagai teorisi pembangunan. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan gagasan PD mengenai pembangunan dengan berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan: bagaimana PD menanggapi wacana pembangunan saat ini? Apa latar belakang kritik PD? Bagaimana hubungan PD dan post-modernisme? Bagaimana politik PD? Lantas apa kontribusi gagasan tersebut terhadap permasalahan pembangunan kontemporer?

Genealogi Pembangunan
Kita akan memulai pembahasan dengan menelusuri asal-usul konsep ‘pembangunan’. Konsep pembangunan dapat dilacak dari abad-18 ketika pencerahan melanda Eropa. Pada masa awal pencerahan itu, pembangunan dimaknai sebagai proyek yang sengaja didesain untuk mencapai tujuan tertentu. Pada masa ini, pembangunan kapitalisme telah memaksa pemerintah dan kritik sosial untuk mengatasi kekacauan (urbanisasi yang massif, pengangguran, kemiskinan, dan tuna wisma) yang disebabkan kapitalisme. Sebagai respon terhadap masalah tersebut, orang seperti Saint-Simon dan Auguste Comte mulai berargumentasi bahwa kemiskinan dan pengangguran pada awal industrialisasi, dapat dan harus diatasi oleh mereka yang tahu cara mengatasinya. Mereka menganggap bahwa orang yang mampu ini, dengan nilai posisi mereka dalam masyarakat, mampu melihat solusi masalah dan harus mendesain kebijakan untuk memperbaiki kekacauan untuk selanjutnya membawa tatanan ekspansi kapitalisme (Grischow & McKnight, 2003: 518).

Pencerahan dan dampak perubahan sosial yang ditimbulkannya telah menarik perhatian intelektual. Perhatian ini dimulai ketika majalah Jerman, Berlinesche Monatschrift membahas tentang “Was ist Aufklarung?” (apakah pencerahan itu?) yang salah satu penulisnya adalah Imannuel Kant (Khondker,1999: 164). Bagi Kant, pencerahan menawarkan pada manusia suatu jalan keluar dari ketidakdewasaan menuju kondisi kedewasaan yang matang. Pencerahan memungkinkan seseorang dapat mencapai status dan kapasitasnya sebagai makhluk yang dewasa dan rasional. Mengikuti alur Kant, maka pencerahan memberi kemungkinan ‘kedewasaan’ pada seluruh umat manusia. Dengan demikian, pencerahan Eropa berpotensi untuk membebaskan manusia yang belum ‘dewasa’ di kawasan lain di dunia. Mereka yang memiliki kitab suci rasionalitas (Eropa) mempunyai kewajiban etika atau panggilan untuk menyebarkan risalah dalam upaya membebaskan dan mendewasakan orang yang masih dalam kondisi ‘belum dewasa’ atau masih terbelakang. Pernyataan ini menjadi legitimasi bagi Eropa untuk melakukan kolonisasi di berbagai belahan dunia lain.

Setelah berakhirnya era kolonial pasca berakhirnya PD II, ‘tanggungjawab’ untuk mendewasakan manusia ini diberi label baru: ‘pembangunan’ (Kiely, 1999: 31). Gagasan pembangunan dituangkan secara eksplisit oleh Presiden Truman pada pidato inagurasinya tanggal 20 Januari 1949 yang menyatakan perlunya negara maju untuk memecahkan masalah di wilayah terbelakang (‘underdevelop’) dengan ‘pembangunan’:

“More than half the people of the world are living in conditions approaching misery. Their food is inadequate, they are victims of disease. Their economic life is primitive and stagnant. Their poverty is a handicap and a threat both to them and to more prosperous areas. For the first time in history humanity possesses the knowledge and the skill to relieve the suffering of these people ... I believe that we should make available to peace-loving peoples the benefits of our store of technical knowledge in order to help them realize their aspirations for a better life. What we envisage is a program of development based on the concepts of democratic fair dealing ... Greater production is the key to prosperity and peace. And the key to greater production is a wider and more vigorous application of modem scientific and technical knowledge” (cq. Kiely, 1999: 32).

Pernyataan Truman itu dianggap dengan jelas menjadi dasar ide pemikiran pembangunan. Dunia Ketiga dilihat sebagai masyarakat terbelakang dan primitif. Namun hal ini dapat diatasi dengan menempuh jalan yang sama dengan Barat. Pihak Barat dapat membantu wilayah ‘underdevelop’ dengan membagi kemakmuran dan melakukan transfer pengetahuan untuk melalui transisi modernisasi. Semua itu dapat dicapai dengan meningkatkan produksi di negara terbelakang melalui pengenalan metode rasional-ilmiah.

Sejak deklarasi itu, berbagai strategi telah digunakan untuk mempromosikan pembangunan (Kiely, 1999: 32). Pada masa 1940-1960-an, pemikiran pembangunan didominasi pandangan tentang ekonomi campuran dimana negara memainkan peran penting dalam memimpin industrialisasi. Pada periode 1970-an, ide pembangunan didominasi pendekatan kebutuhan dasar dan pendekatan redistribusi pendapatan dalam pertumbuhan. Dekade 1980-an ditandai kemunculan kembali pandangan neo-liberal yang menuntut minimasi peran negara dalam mengatur perekonomian dan pembangunan. Negara dituntut untuk mengejar keunggulan komparatif dalam ekonomi dunia yang ditandai kompetisi perdagangan terbuka dan tidak terbatas.

Meski demikian, pembangunan pasca perang Dunia II secara umum didominasi pandangan sempit pada pembangunan ekonomi. Bahkan pembangunan semakin dipermiskin dan direduksi menjadi pertumbuhan ekonomi belaka (Esteva, 1992: 12). Pembangunan dilihat secara sederhana sebagai pertumbuhan pendapatan per orang di wilayah terbelakang. Tujuan ini pertamakali diajukan oleh Arthur Lewis pada tahun 1944 dan dilembagakan oleh Piagam PBB tahun 1947. Gagasan ini dilanjutkan oleh W.W Rostow di Tahun 1960-an. Khondker (1999: 166) menggambarkan konsepsi pembangunan masa itu sebagai berikut:

“The core of the conception growth that nurtured development economics contained the notion of increasing production and concumption, as well as increasing employment and improved standard of living. The ide od development in so far as it meant the reconstruction of infrastructures of a war-torn society, rebuilding institutions, and so forth, was taken for granted”.

Pembangunan dalam hal ini diarahkan kepada Dunia Ketiga agar mencapai hasil sebagaimana di Dunia Pertama. Model pembangunan dalam bentuk pembangunan insfrastruktur, pendidikan, pertanian dan pertumbuhan industri dipimpin negara dengan bantuan dana dari institusi Bretton Woods. Proses pembangunan ini kemudian dikenal dengan modernisasi di Dunia Ketiga. Dalam kaitan ini, modernisasi dimaknai sebagai: “process whereby the traditional and backward Third World countries developed towards greater similarity with the western, or rather, the North-Western world” (Apter, cq. Khondker, 1999: 166).

Namun dengan berbagai pendekatan tersebut, pembangunan tetap dianggap gagal. Setelah setengah abad janji pembangunan, yang miskin tetap miskin, kesenjangan bertambah parah, dan mimpi untuk meningkatkan masa depan bagi banyak orang, hanya mimpi yang mustahil diwujudkan (Siemiatycki, 2005: 56; Mathews, 2004: 382). Paling tidak ada tiga masalah besar yang dihadapi pembangunan: kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, disintegrasi sosial dan degradasi lingkungan (Korten, 1990; Lieten, 2002). Antara pertengahan 1980-an hingga 2000, jumlah orang miskin meningkat dari 1,8 milyar menjadi 2,2 milyar. Di banyak kawasan, bahkan ketika indeks kemiskinan telah dinaikkan, kemiskinan stagnan pada tingkat yang sangat tinggi (di Eropa Timur dari 0,2% menjadi 5,1%, di Amerika Latin dari 15,3% menjadi 15,6%, di benua Afrika dari 46,6% menjadi 46,3%). Perbandingan pendapatan per kapita di negara terkaya dengan negara termiskin telah meningkat dari tiga banding satu pada tahun 1820 menjadi 11 kali pada 1913 dan berlanjut menjadi 30 kali pada 1960 dan 74 kali pada tahun 1997. Selama dekade terakhir, polarisasi pendapatan terus meningkat. Perbandingan antara pendapatan rata-rata kelompok 5 persen tertinggi dengan 5 persen kelompok dengan pendapatan rata-rata terendah meningkat dari 78 kali pada tahun 1988 dan meningkat menjadi 123 kali pada tahun 1993. Aset dari hanya sekitar 3 orang milyarder melebihi gabungan GNP dari sedikitnya seluruh negara maju dengan 600 juta penduduknya (Lieten, 2002: 67-68). Sementara kerusakan lingkungan terjadi di seluruh penjuru dunia, terutama Dunia Ketiga. Kombinasi dari tekanan jumlah penduduk, teknologi yang usang, kegagalan pemerintah mengontrol, dan ekspansi perusahaan multinasional telah secara massif merusak lingkungan.

Post-Development: Kritik Radikal ‘Pembangunan’
Meningkatnya persoalan-persoalan global telah memicu ketidakpuasan yang meluas terhadap ‘pembangunan’. Ketidakpuasan terhadap pembangunan dapat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan derajat penolakannya. Kelompok pertama adalah kelompok moderat, yang hanya menolak gagasan pembangunan karena pembangunan dianggap anti-lingkungan, anti-perempuan, anti-rakyat, anti-Dunia Ketiga, anti-budaya tradisi (Khondker, 1999: 169). Kritik ini tidak menolak konsep pembangunan secara keseluruhan. Mereka percaya bahwa pembangunan dapat lebih memanusiakan, secara budaya lebih sensitif, bahkan secara kejiwaan mungkin lebih progresif. Bagi mereka, sebuah upaya bagi perdamaian dan kemajuan tidak dapat dengan mudah diraih khususnya jika alternatifnya terlalu berbahaya.

Sementara kelompok kedua adalah yang lebih radikal mengkritik pembangunan. Mereka menolak ide ‘pembangunan’ sebagai keseluruhan (meski demikian, kita nanti akan melihat variasi pandangan diantara mereka). Kelompok inilah yang kemudian menamakan dirnya ‘PD’. Teori PD dengan jelas menolak upaya reformasi proyek pembangunan pasca Perang Dunia II dalam rangka mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya (Mathews, 2004: 375). Mathews menyatakan: “Post-Development theorists do not believe that talk of 'sustainable development', a 'basic needs' approach or other 'improvements' of the PwwnI development project are a cause for hope, insisting that what is needed is to 'dethrone' development and 'leave it behind in pursuit of radically alternative visions of sosial life” (hal, 376). Proyek pembangunan pasca PD II gagal tidak hanya karena buruknya implementasi kebijakan, namun lebih karena kesalahan pemahaman terhadap masalah pembangunan. Satu alasan mengapa proyek pembangunan itu salah pemahaman karena didasarkan pada universalisasi pengalaman Barat, dengan mengabaikan kemajemukan pengalaman, kebutuhan dan keinginan yang mereka klaim dibantu. Penolakan terhadap pembangunan tidak harus berarti berakhirnya upaya untuk mengatasi masalah pokok seperti kemiskinan, keterasingan dan kesenjangan, namun lebih pada upaya mencari alternatif untuk mengatasi masalah tersebut.

Salah satu tokoh kelompok ini, Arturo Escobar, menganggap bahwa kritik terhadap pembangunan selama ini dirasa sudah tidak mencukupi lagi. Hal ini disebabkan tiga hal (Escobar, 1992a: 22). Pertama, sebagian besar kritik disampaikan dalam cara pandang dan budaya bagaimana pembangunan itu didefinisikan. Ini telah sampai pada jalan buntu. Karena itu, krisis saat ini tidak mengarah pada perlunya “jalan” yang lebih baik dalam membangun, tidak juga pentingnya “pembangunan jenis lain”. Sebuah kritik terhadap wacana dan praktik pembangunan akan membantu menjernihkan dasar bagi kita untuk bersama membayangkan alternatif masa depan:

“Such analyses have generated proposals to modify the current regime of development: ways to improve upon this or that aspect, revised theories or conceptualizations, even its redeployment within a new rationality (for instance, sosialist, anti-imperialist, or ecological). These modifications, however, do not constitute a radical positioning in relation to the discourse; they are instead a reflection of how difficult it is to imagine a truly different domain. Critical thought should help recognize the pervasive character and functioning of development as a paradigm of self-definition” (Escobar, 1992a: 25).

Kedua, menurut Escobar, ‘pembangunan’ harus dilihat sebagai ciptaan dan strategi yang diproduksi “Dunia Pertama” tentang pembangunan tertinggal di “Dunia Ketiga”, dan bukan hanya alat ekonomi untuk mengontrol realitas alam dan sosial dari Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. ‘Pembangunan adalah mekanisme utama yang melaluinya, dunia diproduksi dan memperoduksi dirinya sendiri, yang memarginalisasi atau menyingkirkan cara lain dalam berpikir dan bertindak’. Bagi Escobar, masalah dengan ‘pembangunan’ adalah bahwa gagasan tersebut bersifat eksternal, didasarkan pada model industri Barat, sementara yang diperlukan lebih kepada wacana yang lebih membumi atau asli dari masyarakat setempat. Karena itu, pembangunan harus ditolak. Ketiga, memikirkan “alternatif bagi pembangunan” memerlukan transformasi baik dalam teori dan praktik mengenai gagasan pembangunan, modernitas dan ekonomi. Transformasi ini diraih dengan membangun gerakan sosial praktis guna merespon tatanan sosial pasca perang yang dominan.

Para penulis PD yang lain [Nandy (1989); Sachs (1992); Rahnema (1992, 1997); Esteva (1992, 1998)] juga menyatakan penolakannya terhadap pembangunan. Sachs (1992) menolak pembangunan karena menganggap bahwa konsep tersebut telah ‘out of date’ dengan empat alasan (Sachs, 1992: 2). Pertama, kepercayaan terhadap teknologi mendorong kerusakan alam. Kedua, gagasan pembangunan yang diinisiasi Truman merupakan visi tatanan dunia yang digunakan dalam rangka memerangi komunisme. Kini setelah Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, maka doktrin Truman kehilangan tenaga ideologi dan bahan bakar politiknya. Ketiga, pembangunan justru melanjutkan kesenjangan kekayaan antara Utara-Selatan yang semakin bertambah, bukannya menurun sebagaimana yang dijanjikan pembangunan: “…in 1960, the Northern countries were 20 times richer than the Southern, in 1980 46 times”. Keempat, konsep pembangunan menghilangkan kemajemukan, sehingga membosankan: “For development cannot be separated from the idea that all people of the planet are moving along one single track towards some state of maturity, exemplified by the nations running in front”.

Penolakan terhadap pembangunan juga diungkapkan oleh Nandy (1989). Baginya, berbagai alternatif pembangunan hanyalah produk dari cara pandang yang sama terhadap pengetahuan dan pembangunan: “…alternative development is rejected because 'most of the efforts are also products of the same worldview which has produced the mainstream concept of science, liberation and development” (Nandy, 1989: 270). Sementara Rahnema menegaskan kembali bahwa pembangunan telah gagal bukan karena implementasinya yang buruk, namun lebih karena pemahaman yang keliru terhadap keinginan orang yang menjadi targetnya: “…development did not fail because governments, institutions and people implemented it poorly, but rather because it is 'the wrong answer to [its target populations'] needs and aspirations'. Development is thus to be rejected rather than reformed.” (Rahnema, 1997: 379). Bagi Rahnema, gagasan Barat tentang kemajuan hanya akan menyebabkan polusi karena industrialisasi, tercerabutnya orang pribumi dari akar budayanya dan menjadi korban global eksploitasi kapitalisme yang memanipulasinya lewat media, mendorong mereka untuk mengkonsumsi barang yang salah dengan alasan yang salah dengan uang yang mereka tidak miliki (Shuurman, 2000: 10).

Lebih lanjut, menurut Esteva (1992), sejak pidato Truman tahun 1949, pembangunan membawa satu makna: melarikan diri dari kondisi yang kurang pantas dengan sebutan ‘underdevelop’. Dalam satu hari, dua milyar orang menjadi ‘terbelakang’ karena adanya ‘pembangunan’. Pembangunan dengan menggunakan ukuran Barat adalah penyebab adanya ‘keterbelakangan’ itu sendiri. Pembangunan saat itu dilihat sebagai kata kunci untuk menyelesaikan semua masalah, namun bagi Esteva (1992:10), “for two-thirds of the people on the earth : ‘development’ is a reminder of what they are not. It is a remainder of an undesirable, undignified condition. To escape from it, they need to be enslaved to other’s experience and dreams”. Esteva berpendapat, pembangunan hanyalah sebuah surat peringatan dari Barat tentang apa yang tidak dimiliki oleh Dunia Ketiga dengan menggunakan ukuran Barat. Gagasan ‘pembangunan’ Barat menciptakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan tidak pantas bagi masyarakat Dunia Ketiga. Masyarakat Dunia Ketiga dituntut untuk mengikuti pengalaman dan impian Barat, jika ingin keluar dari kondisi ketidaknyamanan yang diciptakan oleh pembangunan itu.

Sejumlah ilmuwan tersebut, seperti diungkapkan Escobar, sepakat tentang penolakan terhadap pembangunan. Daripada mencari ‘pembangunan alternatif’, mereka lebih suka berbicara tentang ‘alternatif bagi pembangunan’, penolakan menyeluruh terhadap seluruh paradigma pembangunan: “They see this reformulation as a historical possibility already underway in innovative grassroots movements and experiments (Escobar, 1992a: 27). Bagi para penulis PD, lebih jelasnya gambaran hubungan antara pembangunan, di satu sisi, -yang ditandai dengan keuntungan, patriarki dan objektivitas pengetahuan dan teknologi-, dengan marginalisasi pengetahuan dan kehidupan orang di sisi yang lain, mendorong pencarian alternatif yang makin mendalam. Menurut Escobar, pencarian alternatif bagi ‘pembangunan’ harus diawali dengan transformasi tatanan yang memproduksi kebenaran dan mendefinisikan pembangunan. Dalam bahasa Escobar:

“It may be said that what is at stake is the transformation of the political, economic and institutional regime of truth production that has defined the era of development. This in turn requires changes in institutions and sosial relations, openness to various forms of knowledge and cultural manifestations, new styles of participation, greater community autonomy over the production of norms and discourses. Whether or not the formation of nuclei or nodal points around specific sosial relations or problems leads to significant transformations in the prevailing regime remains to be seen” (Escobar, 1992a: 27).

Begitu pula Rahnema & Bawtree (1997) dalam The Post-Development Reader menyatakan bahwa ‘alternatif bagi pembangunan’ adalah sebuah panggilan pada cara baru tentang perubahan, pembangunan, yang selama ini dikontruksi oleh proyek pembangunan pasca Perang Dunia II. ‘Alternatif bagi pembangunan’ adalah upaya mencapai masyarakat yang lebih baik dengan cara baru. Mereka dengan jelas menggambarkan hal tersebut:

“The contributors [to The Post-Development Reader] generally agree that the people whose lives have often been traumatized by development changes do not refuse to accept change. Yet what they seek is of a quite different nature. They want change that would enable them to blossom 'like a flower from the bud' (a good definition in Webster's dictionary for what development should be!); that could leave them free to change the rules and the contents of change, according to their own culturally defined ethics and aspirations” (cq. Mathews, 2004: 376).

Post-Development dan Post-Modernisme
Pada bagian ini, kita akan mendiskusikan hubungan antara PD dengan post-modernisme. Kritik PD terhadap pembangunan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh post-modernisme yang mengarahkan kritiknya pada modernitas. Namun mendefinisikan post-modernisme adalah sesuatu yang sulit karena digunakan di berbagai bidang dari mulai filsafat, sastra, ilmu sosial, seni budaya, hingga arsitektur (Saughtads, 2001). Pemikir post-modernime dari berbagai bidang memiliki pendapat dan definisi yang berbeda. Meski demikian, sejak diperkenalkan pertamakali oleh seniman Inggris, John Watkins pada tahun 1870-an, dan pada 1917 oleh Rudolf Panwitz, istilah post-modernisme biasanya menunjuk pada reaksi negatif maupun penyangkalan terhadap modernisme (Hasan, 1981: 31; Appignanesi, et.al, 1998).
Istilah post-modernisme baru menjadi perdebatan yang hangat sejak terbitnya karya Francois Lyotard tahun 1979 yang berjudul The Postmodern Condition (Ferraris&Segre, 1988: 12). Lyotard mengartikan post-modernisme secara sederhana sebagai “…incredulity towards metanarratives” (ketidakpercayaan terhadap metanarasi). Lyotard menggunakan istilah post-modernisme untuk menjelaskan keadaan pengetahuan di masyarakat yang paling maju. Menurutnya, pengetahuan tersebut dicirikan dengan penolakan terhadap penjelasan yang mentotalisasi atau narasi besar. Dengan gambaran seperti itu, kita tidak bisa memberikan definisi tentang konsep besar apapun: ‘pembangunan’, ‘modernnitas’, maupun ‘budaya tradisional’. Perspektif post-modernisme yang anti-esensialis dan konstruktivis melihat konsep-konsep itu sebagai sesuatu yang secara aktif terus-menerus dibentuk oleh manusia. Atau dalam bahasa Lyotard, pengetahuan hanyalah sebuah ‘permainan bahasa’ (Hassard dalam Hassard & Parker, 1993: 8-9).

Pandangan ini telah menginspirasi banyak teoritisi, termasuk para pemikir pembangunan. Pandangan anti-esensialis dan konstruktivis ini memberi wawasan baru dalam melihat modernitas dan pembangunan. Sebuah versi awal pemikiran non-pembangunan diperkenalkan oleh Wolfgang Sachs (Schuurman, 2000: 9-10) sebagai berikut: “…development talk still pervades not only official declarations but even the language of grassroots movements. It is time to dismantle this mental structure” (Sachs, 1992: 1). Keinginan Sachs untuk membongkar struktur mental dari wacana pembangunan arus utama ini dapat dilihat sebagai karakter kritik post-modernisme. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power (1992) yang diisi oleh tulisan-tulisan Sachs, Escobar, Esteva, Rahnema, Illich, Shiva, dll menjadi tonggak kritik pembangunan yang bercorak post-modernisme. Tujuan dari para penulis buku ini adalah menelanjangi struktur (wacana pembangunan) yang tidak disadari telah membatasi pikiran kita masa kini. Buku itu menjanjikan sebuah: “window of other ways of looking at the world and to get a glimpse of the richess and blessings which survive in non-western cultures in spite of development” (Sachs, 1992: 4).
Sejalan dengan persoalan ‘pengetahuan’, PD juga dipengaruhi gagasan post-modernisme dalam memahami ‘kekuasaan’. Dalam hal ini, pemikiran intelektual yang mungkin paling berpengaruh terhadap teori PD adalah karya Michel Foucault. Para pemikir PD terinspirasi gagasan Foucault tentang kekuasaan yang berbeda dengan pemahaman konvensional. Dalam memahami operasi kekuasaan di Eropa, Foucault menekankan sedikitnya dua aspek (Brigg, 2002: 425). Pertama, hadirnya teknik dan praktik yang muncul sebagai kekuatan pemaksa di pabrik, untuk meningkatkan nilai guna pekerja dengan meningkatkan keterampilan, kecepatan, output untuk menambah keuntungan. Dalam kata lain, serangkaian teknik muncul untuk mendisiplinkan tubuh pekerja agar lebih produktif (represi). Aspek kedua, berkaitan dengan aspek pertama, adalah adanya produksi ruh dan rejim kebenaran. Rejim kebenaran ini berperan memproduksi identitas individu dan membentuk suatu sistem yang menentukan mana yang benar dan salah (dominasi). Kekuasaan tidak lagi dipahami sebagai ancaman fisik, melainkan kini dilihat sebagai ‘biopower’. Kekuasaan tidak dijalankan dengan cara represif, tapi justru produktif. Pengetahuan diproduksi untuk mengontrol masyarakat. Dalam analisisnya, Foucault lebih memfokuskan pada aspek kedua kekuasaan ini daripada yang pertama.

Menurut Foucault, operasi kekuasaan harus dipahami melalui ‘dispositif’ dan ‘normalisasi’ (Brigg, 2002). Dispositif merujuk pada rangkaian kompleks antara elemen kesadaran dan materi, seperti wacana, institusi, peraturan, hukum, ukuran administratif, pernyataan ilmiah, maupun proposisi filosofis dan moral. Seperti diungkapkan Foucault: “The dispositif is both a 'thoroughly heterogeneous ensemble' of discursive and material elements-for example, 'discourses, institutions, architectural forms, regulatory decisions, laws, administrative measures, scientific statements, philosophical, moral and philanthropic propo- sitions', and so on-and the 'system of relations ... established between these elements” (cq. Brigg, 2002: 426).

Dispositif secara konkrit adalah aparatur sosial. Suatu agen kuasa yang mengatur dan mengendalikan kehidupan individu. Kuasa dispositif tidak bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan melalui ‘normalisasi’. Dispositif melakukan normalisasi sebagai bentuk operasi kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak dengan cara negatif represif, namun bersifat positif dan produktif. Dispositif mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus kebenaran. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tapi dikontrol, diatur dan didisplinkan melalui wacana. Kehidupan tidak dikontrol dan diatur oleh suatu kekuasaan yang bersifat represif dan tunggal, tetapi lewat sebuah mekanisme, aturan dan tata cara agar masyarakat terkontrol dan terdisiplin. Jika ingin baik dan normal, bertindaklah di dalam koridor kebenaran wacana.

Normalisasi ini dilakukan melalui lima langkah seperti dinyatakan Foucault (Brigg, 2002: 427). Pertama, dispositif mengarahkan tindakan individu pada seluruh bidang pembandingan. Selanjutnya, dispositif membedakan individu satu dengan individu lainnya berdasarkan wacana dispositif. Individu harus mengikuti seluruh wacana kebenaran sebagai sebuah acuan rata-rata untuk dihargai masyarakat. Dispositif juga mengukur kemampuan individu dalam bentuk kuantitatif dan bersifat hirarkis, suatu tingkatan keadaan individu. Dengan kata lain, individu ditempatkan dalam label-label yang menunjukkan kepatuhannya pada wacana kebenaran. Terakhir, dispositif memberikan batasan yang akan mendefinisikan perbedaan dalam hubungan dengan semua perbedaan yang lain, dimana di luar batasan itu akan disebut sebagai abnormal.

Para penulis PD mengikuti Foucault dengan melihat pembangunan sebagai wacana kuasa (Ziai, 2004: 1047). Escobar (1992) lebih jelas menyatakan bahwa pembangunan adalah ciptaan modernitas Barat yang berperan sebagai wacana kuasa (Barat) dan mengakibatkan hubungan kekuasaan bagi Dunia Ketiga. Mengikuti Foucault, Escobar melihat pembangunan sebagai aparatur sosial (dispositif) yang membentuk pengetahuan tentang Dunia Ketiga dan memberi arahan kepadanya tanpa kita dapat mengajukan pendapat apapun. Dalam bahasa Escobar sendiri:

“…development can be described as an apparatus (dispositif) that links forms of knowledge about the Third World with the deployment of forms of power and intervention, resulting in the mapping and production of Third World societies. In other words, development is what constructs the contemporary Third World, silently, without our noticing it. By means of this discourse, individuals, governments and communities are seen as "underdeveloped" (or placed under conditions in which they tend to see themselves as such), and are treated accordingly….Once consolidated, this system determined what could be said, thought, imagined; in short, it defined a perceptual domain, the space of development.” (Escobar, 1992a: 23-24).

Atau menurut Rahnema: “The development paradigm has extended and deepened an unprecedented colonization of minds, based on a collection of beliefs claiming to be scientific, borrowed from the discourse of progress and economy” (Rahnema, 1997). Bagi Rahnema, paradigma pembangunan hanyalah perpanjangan logika kolonial Eropa. Logika ini didasarkan pada sebuah kepercayaan mengenai kemajuan dan ekonomi yang diraih melalui mekanisme ilmiah. Dengan demikian, pembangunan ala Barat adalah upaya hegemoni terhadap Dunia ketiga dengan cara yang lebih halus, melalui wacana kuasa.

Untuk memahami pembangunan sebagai wacana kuasa, menurut Escobar, dibutuhkan pemahaman tentang mengapa banyak negara mulai melihat diri mereka sebagai ‘underdeveloped’, sehingga menganggap pertanyaan tentang bagaimana ‘untuk membangun’ serta bagaimana menjalankan hal tersebut dengan berbagai strategi dan program, menjadi masalah mendasar mereka. Escobar menyatakan bahwa pembangunan sebagai wacana memiliki sifat struktural dengan wacana kolonial yang lain, seperti orientalisme yang diperlihatkan dengan sangat baik oleh Edward Said. Bagi Said, orientalisme adalah wacana yang dapat didiskusikan dan dianalisa sebagai institusi perusahaan untuk berhubungan dengan ‘Timur’, dan membuat pernyataan tentangnya, mempelajarinya, menyusunnya, dan mengaturnya. Ringkasnya, orientalisme dilihat sebagai “…a Western style for dominating, restructuring and having authority over the Orient ...”(cq. Escobar, 1992a: 24). Menurut Escobar dengan mengutip Said, tanpa kita menguji orientalisme sebagai wacana, kita tidak dapat memahami berbagai disiplin sistematis yang dilakukan oleh budaya Barat untuk mengelola, bahkan memproduksi ‘Timur’ secara politik, sosial, ideologis, pengetahuan, dan imaginatif selama periode pasca pencerahan. Karena itu, bagi Escobar, sebagaimana orientalisme: “…development has functioned as an all-powerful mechanism for the production and management of the Third World in the post-World War II period. A complete reorganization of knowledge production systems..”(Escobar, 1992a: 24).

Demi menjamin berfungsinya ‘aparatur’ ini, wacana pembangunan membentuk jaringan organisasi raksasa. Jaringan agen dispositif ini dijalankan oleh lembaga-lembaga internasional yang dikepalai Bank Dunia (Brigg, 2002). Realitas Dunia Ketiga ditulis dengan ukuran dan kecermatan wacana dan praktik ekonom, perencana, ahli gizi, ahli tanah, dari perspektif Barat. Hal ini menyulitkan dan bahkan membuat orang tidak mampu untuk mendefinisikan kepentingan mereka sendiri dalam bentuknya sendiri (Escobar, 1992a: 25). ‘Pembangunan’ dijalankan dengan menciptakan ‘abnormalitas’ seperti ‘orang miskin’, ‘kurang gizi’, ‘buta huruf’, ‘tidak punya lahan’, yang kesemuanya itu harus diatasi. Tersusun dalam praktik, lembaga dan struktur yang kompleks, wacana pembangunan telah memiliki dampak yang besar pada Dunia Ketiga: hubungan sosial, cara berpikir, visi mengenai masa depan, secara tidak terhapuskan ditandai dan dibentuk oleh operator ‘pembangunan’ yang ada dimana-mana: “First of all, as with other development domains, knowledge produced in the first World about the Third World gives a certain visibility to specific realities in the latter, thus making them the target of power” (Escobar, 1992b: 140). Wacana pembangunan telah menciptakan suatu ruang bagi pihak pembentuk wacana pembangunan (Barat) untuk memastikan dapat mengontrol Dunia Ketiga: “…the development discourse has 'deployed a regime of government over the Third World, a "space for subject peoples" that ensures control over it' (Escobar 1995, cq. Kiely, 1999: 33).

Gagasan PD dengan demikian dapat dilihat sebagai perkawinan antara gerakan anti-modern dengan epistemologi post-struktural Foucault. Penyatuan ini menghasilkan asumsi sosiologis yang keramat, yaitu jargon ‘difference’ (kemajemukan) dan ‘resistance’ (perlawanan). Disini hubungan kemajemukan dengan perlawanan adalah sebagai suatu sarana untuk meraih tujuan: “…local communities resist the forces of modernization in order to maintain their particularities and differences” (Nanda, 1999: 9-10).

Politik ‘Post-Development’: Ambivalensi Vs Konsistensi
Nampaknya kurang memadai jika memahami kritik PD terhadap pembangunan tanpa mengetahui politik praktis mereka. Kita akan mendiskusikan hal itu dalam bagian ini. Harus diakui bahwa politik PD seringkali tidak jelas, kabur dan terkesan saling bertentangan antar masing-masing teoritisi. Mungkin posisi politik PD dapat dilihat lebih jelas dari proposisi yang ditawarkan secara eksplisit oleh para teoritisinya. Escobar (1992a: 27) menjabarkan beberapa proposisi penting PD sebagai berikut:
  • Orientasinya bukan pada ‘pembangunan alternatif’, tapi pada ‘alternatif bagi pembangunan’, karena itu menolak seluruh paradigma pembangunan.
  • Berorientasi pada budaya dan pengetahuan lokal.
  • Mengambil posisi kritis terhadap wacana ilmiah yang mapan.
  • Mempertahankan dan mempromosikan lokalitas, gerakan akar rumput yang beragam.


Berdasarkan beberapa proposisi diatas, politik PD dapat dilihat pada tiga ranah. Pertama, bentuk pengelolaan masyarakat yang diinginkan pada era PD. Secara sekilas, beberapa penulis [Escobar (1992, 2000); Rahnema (1992, 1997); (Esteva, 1992, 1998); Nandy (1992)] memiliki pandangan yang nampak berbeda satu sama lain. Escobar menginginkan ”…the imagination, a dream about the utopian possibility of reconceiving and reconstructing the world from the perspective of, and along with, those subaltern groups that continue to enact a cultural politics of difference as they struggle to defend their places, ecologies, and cultures”(Escobar, 2000: 14). Escobar menekankan pentingnya warga lokal untuk dapat merekonstruksi dunia sesuai sudut pandangnya sendiri untuk mempertahankan tempat, lingkungan dan budaya mereka.

Sementara Rahnema memimpikan suatu ‘vernacular societies’. Rahnema (1992: 226), menyatakan: “In vernacular societies, abundance is perceived as a state of nature, inviting all living species to draw on it for meeting their specific needs”. Bagi Rahnema, suatu ‘masyarakat asli’, adalah tipe masyarakat yang lebih baik dalam sebuah era PD. Di dalam masyarakat ini, kemakmuran dilihat sebagai suatu keadaan alamiah, yang mengundang semua makhluk hidup untuk dapat mengaktualisasi dan memenuhi keinginannya sendiri. Sebuah komunitas yang mampu mengorganisasikan dirinya sendiri untuk melihat berlimpahnya kekayaan alam dan membaginya sendiri diantara anggota dan mendefinisikan sendiri kesejahteraan relatif dari komunitas itu.

Sedang bagi Esteva, demokrasi langsung (dirrect democracy) merupakan bentuk impian masyarakat di era PD. Menurutnya, tantangan sekarang adalah melanjutkan perubahan baik dalam ranah wacana maupun intitusi yang menopang ‘pembangunan’ melalui "the autonomization of cultural nuclei interconnected in reticular fashion . . . in favor of a plurality of options" (Esteva, cq. Escobar, 1992a:27). Untuk itu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengintensifkan proses membangun demokrasi langsung. Demokrasi langsung bukanlah proses yang dapat digambarkan dalam bentuk seluruh masyarakat, namun lebih sebagai sesuatu yang memberi perhatian pertama dan utama pada komunitas lokal dan regional. Esteva mengungkapkan: “Crutches, like those offered by science, are not necessary when it is possible to walk with one’s own feet, on one’s own path, in order to dream one’s own dreams. Not the borrowed ones of development" (1992: 23).

Dalam aspek yang berbeda, Nandy (1992) melihat pengorganisasian masyarakat oleh negara harus dikurangi. Menurutnya, negara adalah konsep Barat yang menghegemoni Dunia Ketiga. Masyarakat sebaiknya diorganisasikan dengan model anarkis, yang biasa dihubungkan dengan Mahatma Gandhi: “The best instance is the 'anarchism' associated with the name of Mohandas Karamchand Gandhi... and at least some young Gandhians have come closer to those for whom a return to a revised and updated idea of a culturally rooted, less monolithic, 'softer', pre-modern minimal state holds the most promise” (Nandy 1992: 272). Nandy menginginkan suatu masyarakat yang berakar secara budaya, tidak monolitik, dan lebih lunak dimana negara memainkan peran minimal. Peran komunitas dalam mengelola hidup mereka sendiri harus lebih ditekankan.

Dalam kaitan dengan negara ini, Sachs (1992) menolak upaya homogenisasi dan penyatuan dalam ‘satu dunia’. Baginya, yang mestinya diciptakan adalah suatu dunia yang koheren namun majemuk, tidak homogen. Ia menginginkan sebuah ‘meta-nation’, bukan ‘super-nation’. Dalam perspektif ini: “…one world is not a design for more global planning, but an ever present regulative ideas for local action. Cosmopolitan localism seeks to amplify the richness of a place while keeping in mind the rights of multi-faceted world. It Cherishes a particular place, yet at same time knows about the relativity of all place. It result from a broken globalism as well as a broken localism” (1992: 113).

Politik kedua PD adalah ranah wacana yang berupaya menandingi wacana pembangunan arus utama. Perjuangan dalam ranah ini dilakukan karena kesadaran akan tidak terpisahkannya antara pengetahuan (wacana) dengan kekuasaan. Perlawanan terhadap wacana karenanya hanya dapat dilakukan dengan membangun wacana tandingan. Para penulis PD sama-sama mengkritik modernitas dan pembangunan dengan berbagai institusi penopangnya. Tetapi kita akan melihat adanya perbedaan mendasar diantara teoritisi PD terkait hal ini. Perbedaan terletak pada apakah wacana perlawanan dapat diinspirasi modernisme (Barat), atau wacana itu harus benar-benar lepas dari modernisme?

Escobar adalah salah satu teoritisi PD yang masih melihat hubungan modernitas Barat dan wacana non-modern secara dialektis. Ia tidak menolak seluruh aspek modernitas. Escobar memang menginginkan: “…Western rationality has to open up to the plurality of forms of knowledge and conceptions of change that exist in the world and recognize that objective, detached scientific knowledge is just one possible form among many” (1992b: 143). Lebih lanjut ia mengajukan: “…the formation of nuclei around which new forms of power and knowledge can converge” (cq. Pieterse, 2000: 184). Meski demikian, dalam memformulasikan tiga wacana untuk melawan wacana kuasa yang mengatasnamakan pembangunan, Escobar (1992a) justru diinpirasi oleh modernitas Barat itu sendiri. Pertama, wacana perwujudan impian demokrasi (termasuk kebutuhan, keadilan ekonomi dan sosial, hak asasi manusia, kesetaraan klas, gender, dan etnis). Menurut Escobar, wacana ini memang berakar dari Barat, namun demikian, kita diminta tidak meniru begitu saja pengalaman di Barat. Wacana ini menawarkan kemungkinan bagi radikalisasi demokrasi langsung untuk mencapai mayarakat yang lebih pluralistik. Kedua, wacana kemajemukan, termasuk kemajemukan budaya, otonomi dan hak bagi tiap masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri. Wacana ini diinspirasi dari berbagai sumber seperti perjuangan anti-imperialisme, penentangan terhadap etnosentrisme Eropa dan epistimologi konvensional, revisi terhadap sejarah, dan sebagainya. Escobar meyakini wacana ini diperlukan sebagai strategi untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan tersebut. Ketiga, wacana anti-pembangunan yang berasal dari krisis pembangunan dan gerakan akar rumput. Wacana ini dibutuhkan untuk melakukan transformasi radikal terhadap kapitalisme modern dan mencari alternatif baru bagi pengorganisasian ekonomi dan masyarakat.

Dengan arah berlawanan, Esteva&Prakash (1998) menyatakan perlunya melawan tiga mitos modernisme yang telah mencengkram kesadaran secara global. Mereka sepakat untuk menolak modernisme dengan tiga mitosnya. Pertama, mitos tentang pemikiran global, yang menjadi bagian dari mitos ekonomi global. Promotor globalisasi ekonomi memuja sistem ekonomi yang melahirkan ‘standar hidup’, yang hanya diciptakan oleh minoritas sosial (Barat) tetapi memaksakannya kepada seluruh negara di dunia. Seluruh orang di dunia diasumsikan merupakan homo economicus yang rasional, seperti di Barat. Bagi Esteva & Prakash, globalisasi ekonomi dan pemikiran global harus ditolak karena melakukan homogenisasi terhadap seluruh budaya. Cara pandang harus didasarkan pada lokalitas dengan “…regenerating the different forms of rooted local thinking which inspire local actions, grassroots groups are learning how to keep economic thinking at the margins of their sosial lives, regenerating the traditions” (hal 292). Kedua, mitos mengenai hak asasi manusia universal. Bagi Esteva&Prakash, HAM universal itu tidak lebih dari mitos dalam upaya penyelamatan Barat terhadap dekontruksi modernitas yang telah dilakukan post-modernisme. Esteva&Prakash memimpikan dunia dimana seluruh wanita dan anak-anak, klas dan ras yang hak asasi mereka terasingkan pada era modern, “…be 'saved', a salvation supposedly secular and culturally neutral or transcultural” (hal, 293). Dalam era post-modern yang secara moral progresif, egaliter, dan ekonomi global yang adil ini, tiap individu akan menikmati pengalaman hak asasi manusianya. Ketiga, mitos perihal individualitas manusia. Menurut Esteva & Prakash, baik kritik kaum modernis maupun post-modern gagal mengakui perubahan kondisi manusia yang beroperasi melalui individualisasi terhadap ‘orang’. Kelompok yang melihat pentingnya individu dengan mengesampingkan kelompok adalah sebuah mitos belaka. Begitu pula orang yang memandang bahwa kelompok adalah bagian terpenting dengan mengabaikan aktualisasi diri individu. Esteva & Prakash menganggap bahwa daripada memisahkan dua gagasan tentang individu ini, mereka mendorong perlunya meletakkan individu sendiri ke dalam konstruksi sosial yang menciptakan bayangan mengenai keterhubungan antar-orang. Poin ketiga ini memperlihatkan pandangan Esteva & Prakash yang lebih konstruktivis dibanding dua poin sebelumnya.

Tidak terlalu berbeda dengan dua politik PD sebelumnya, kita juga akan melihat perbedaan dalam politik ketiga PD: ranah praktik yang diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran bagi orang-orang untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Para penulis PD umumnya mengajukan gerakan sosial yang berorientasi pada budaya, pengetahuan lokal, kritik terhadap ilmu pengetahuan dan mempromosikan lokalitas, sebuah gerakan akar rumput yang pluralistik, dan tidak percaya terhadap organisasi politik serta pembangunan yang mapan. Mereka mendorong gerakan akar rumput yang bercorak post-modernisme. Namun lagi-lagi kita akan melihat perbedaan terkait hal ini. Persoalannya terletak pada apakah nilai-nilai gerakan lokalitas itu boleh diinspirasi oleh modernitas (Barat), atau nilai-nilai itu harus berbeda sama sekali dengan modernitas?

Bagi Escobar (1992), modernitas memang membawa berbagai dampak buruk bagi kehidupan masyarakat lokal. Tapi ia masih mengakui beberapa aspek modernitas yang bisa digunakan untuk mentransformasinya dengan lebih baik (seperti uraiannya tentang wacana perlawanan di depan). Karena itu, tidak mengherankan ketika berbicara tentang gerakan sosial, ia menginginkan suatu gerakan sosial yang tidak diatur oleh suatu logika yang mencakup semua (totaliter/modernisme) atau yang tidak memiliki gagasan sama sekali (nihilistik/post-modernisme). Dengan melampaui keduanya, bagi Escobar gerakan sosial harus mempertimbangkan kontradiksi dan keragaman pilihan yang muncul dalam beberapa pengalaman tanpa menguranginya menjadi satu kesatuan logis. Escobar menginginkan suatu gerakan yang melakukan “the fragmentation of identities, the de-totalization of certain narratives, including "development" (1992a: 48). Dalam jangka panjang, menurut Escobar, yang perlu diperhatikan adalah membentuk cara baru dalam melihat, memperbaharui penggambaran budaya dan sosial sendiri dengan menggantikan kategori Dunia ketiga yang dibentuk oleh kekuatan dominan yang memproduksi pandangan realitas di berbagai ranah kekuasaan itu dengan: “…a matter of "regenerating people's spaces" or creating new ones, with those who have actually survived the age of modernity and development by resisting it or by insinuating them-selves creatively in the circuits of capital and modernization (1992a: 48-49).

Namun bagi Esteva&Prakash maupun Rahnema, mereka cenderung melihat modernisme sebagai sumber kekacauan. Bagi mereka, nilai tradisi lokal yang ‘non-modern’ harus menjadi acuan bagi gerakan sosial. Esteva & Prakash (1998) menilai gerakan akar rumput harus bercorak post-modern. Menurut mereka, gerakan seperti itu diharapkan melahirkan inisiatif kolektif yang berbeda secara budaya dan sebuah perjuangan massa ‘non-modern’ yang menjadi pioner untuk keluar dari kekacauan modernisme. Gerakan akar rumput post-modern itu sendiri digambarkan sebagai: “…The grassroots initiatives to which we allude and upon which we draw are autonomously organized by 'the people' themselves, for their own survival, flourishing, and enduring; both independent from and antagonistic to the state and its formal and corporate structures; hospitable to 'the Other' and thus open to diversity; mainly expressed in reclaimed or regenerated commons, both urban and rural, and clearly concerned with the common good, both natural and sosial”(Esteva & Prakash, 1998: 293). Gerakan akar rumput ini meliputi petani, kaum terpinggirkan kota, dan intelektual yang melakukan de-profesionalisasi.

Selanjutnya Rahnema (1997) mengajukan suatu ‘art of resistance’ bagi gerakan sosial PD. Menurutnya ada tiga pola hubungan yang perlu dilakukan untuk melawan kuasa. Pertama, subversi positif, yang berkenaan dengan aktifitas yang diinspirasi oleh sebuah teologi pembebasan. Suatu bentuk perlawanan dari bawah yang tidak melibatkan kekerasan. Kedua, aksi gerilya, sebuah perlawanan gerakan akar rumput yang berbasis tradisi mereka sendiri. Tradisi berhemat dan perawatan rumah tangga yang dimiliki akar rumput mengajari mereka untuk tidak menunjukkan kehidupan yang diskriminatif. Ketiga, ‘inner force’, yang menurut Rahnema, suatu gerakan yang diinspirasi dimensi spiritual. Namun bukan suatu gerakan spiritual yang fundamentalis, dimana politisi dan professional mencapai tujuan mereka sendiri dengan cara tidak bermoral. Rahnema menginginkan suatu bentuk baru dari praktik kekeluargaan dan solidaritas yang peduli terhadap nilai-nilai spiritual. Ia mencontohkan gerakan Swadhyaya di India dan Sarvodaya di Sri Lanka.

Kontribusi Bagi Persoalan ‘Pembangunan’
Sejak muncul di awal 1990-an, PD menjadi isu sentral dalam studi pembangunan. Terlepas dari ‘ambivalensi’ maupun kontroversi perdebatan2 yang menyertainya, PD tetap dianggap sebagai perkembangan paling signifikan dalam studi pembangunan sejak akhir dekade yang lalu (Arnold, 2004: 350; Rapley, 2004). Beragam pendapat dan komentar terhadap gagasan ini telah berkembang luas. Diantara berbagai kritik dan pembelaan terhadap PD, nampaknya baik teori maupun praktik PD makin menunjukkan pengaruhnya (Rapley, 2004). Rapley menyatakan:

“…Theoretically, it is still in the avant-garde, and so deserves scholarly attention; politically, it meshes with presently ascendant neoliberal thinking that eschews grand development projects in favour of lokal initiatives; academically, given the popularity of the anti-globalization movement among young people, it is likely to remain in demand on the university campuses which generate the bulk of development thought” (Rapley, 2004: 353).

Banyak komentator yang melihat potensi besar PD dalam menginspirasi pembangunan. Mereka umumnya menonjolkan kelebihan PD dalam melihat wacana ‘pembangunan’ sebagai terlalu elitis, Eurosentris, melibatkan suatu hubungan kekuasaan, serta kurang menghargai pluralitas. Nanda (1999) misalnya, melihat kontribusi PD dengan menyatakan bahwa “…Post-Developmentalist discourse is useful as a critique of the top-heaviness and elitism of traditional development initiatives” (hal, 8). Terkait hal ini, Nustad (2001) melihat dua peran PD: Pertama, analisa PD menunjukkan bahwa transformasi yang dilakukan melalui pembangunan bersifat elitis. Kedua, keterbatasan teknis menuntut perancang pembangunan membentuk kesadaran tentang bagaimana mereka merumuskan masalah. Karena itu dibutuhkan analisa yang lebih luas mengenai pembangunan dengan “Including how development interventions are transformed in encounters with target populations gives a less rigid picture of the power of development, and can expose some of the problematic premises on which development interventions are based” (Nustad, 2001: 479).

Sementara Curry (2003) mengakui peran penting kritik PD terhadap wacana pembangunan sebagai terlalu Eropa-sentris, meskipun tidak memberikan arahan yang jelas bagaimana mengatasi persoalan itu: “…while Post-Development has rightly criticized the Eurocentrism and assumptions underpinning much of development thinking and practice, it has been less specific about how these problems can be addressed” (hal, 420).

Terlihatnya operasi kekuasaan dalam wacana ‘pembangunan’ juga dianggap sebagai kontribusi PD. Brigg (2002) memang mengkritik PD karena melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang tunggal dan menyamakan operasi kekuasaan pada era kolonial dengan era pasca PD II. Tapi dengan menggunakan konsep Foucault tentang dispositif dan normalisasi, dan menggeser unit analisis dari individu ke negara, PD memiliki potensi besar untuk membantu kita dalam memahami pembangunan secara lebih jelas. Pembangunan adalah wacana kuasa.

Penulis lain, mengapresiasi teori PD karena menekankan pada otonomi dan pluralisme nilai-nilai. Siemiatycki (2005) menganggap PD memiliki potensi untuk memahami dan terutama melaksanakan sistem organis yang secara budaya lebih sensitif, berorientasi pada peningkatan komunitas, atau ringkasnya suatu ‘real development’. Baginya, “…when progress is described as a ‘growing awareness of oppression’, Post-Development theory can be recognized as succeeding in empowering individuals who strive to create a better life for themselves and those around them” (hal, 59). Begitu pula Khondker (1999) yang melihat nilai PD sebagai upaya untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Bagi Khondker, pluralisme budaya dan pengetahuan lokal adalah aset dunia yang harus dijadikan fondasi bagi penghormatan terhadap kehidupan manusia. PD adalah gagasan yang mendorong ke arah itu. Sementara Schuurman (2000) menyatakan PD sesuai dengan gagasan-gagasan mengenai masyarakat sipil, modal sosial, kemajemukan, dan resiko yang mulai menggantikan dominasi paradigma ‘pembangunan’ sebelum dikritik post-modernisme. Karena itu, studi pembangunan sebaiknya mengadopsi gagasan-gagasan tersebut.

Tapi bagi mereka yang pesimis terhadap PD, ambivalensi dan kekeliruan PD dalam memahami Barat adalah aspek yang ditonjolkan. Grischow & McKnight (2003) misalnya berpendapat, teori dan solusi yang ditawarkan PD hanya mengulang ide awal pembangunan pada era kolonial yang sebenarnya mereka tolak. Kebutuhan untuk memberi arahan pada praktik baru melawan pembangunan, telah menempatkan PD pada posisi ‘perwalian’ yang sebenarnya mereka tolak. Karena itu, Grischow & McKnight dengan retoris mengajukan pertanyaan: “…how “post” is Post-Development?” (hal, 542). Jika PD hanya mengulangi apa yang sebenarnya mereka tolak, lalu bagaimana jika ternyata yang dulu itu (pembangunan komunitas oleh kolonial) adalah PD itu sendiri?

Pendapat senada disampaikan oleh Kiely (1999). Baginya, PD hanyalah sejenis orientalisme yang mengarahkan semua orang non-Barat sebagai ‘orang terpinggirkan’, dan menggunakannya untuk melawan Barat yang dianggap homogen: “..At its worst, PD displays a reverse Orientalism which 'turns all people from non-western cultures into a generalised "subaltern" that is then used to flog an equally generalised "West"'. Meskipun demikian, diantara kritikannya yang tajam dan pesimisnya terhadap PD, Kiely tetap mengakui kontribusi Escobar dan kawan-kawan: “…At its best - the work of Escobar - it shows the power of the development discourse, but there are still serious inconsistencies” (Kiely, 1999:47). Penilaian serupa pun disampaikan Pieterse (2000). Pieterse yang sejak awal mengkritik PD menilai bahwa pergeseran kearah sensibilitas budaya yang digerakkan PD memang mulai terjadi. Namun dalih bagi budaya pribumi tersebut dapat mendorong suatu cauvinisme etnis dan kebalikan dari orientalisme. Pieters menilai, PD menghadirkan pandangan konvensional dan sempit terhadap globalisasi yang disamakan dengan homogenisasi. Namun bahkan Pieterse yang mengajukan kritikan tajam pun, ia juga tetap mengakui peran PD bagi filosofi perubahan: “…Post-Development makes engaging contributions to collective conversation and reflexivity about development and as such contributes to philosophies of change, but its contribution to politics of change is meagre” (hal, 188).

Dengan demikian, baik pengkritik maupun pembela, yang terlibat dalam perdebatan kontroversial tentang ambivalensi PD, telah mengakui peran gagasan itu dalam mengkritik ide pembangunan. Pada umumnya, mereka sepakat bahwa PD memberikan penjelasan baru terhadap pembangunan, yaitu pertama, kritiknya terhadap gagasan ‘pembangunan’ yang terlalu berorientasi Barat, dan kedua, penjelasannya mengenai hubungan kekuasaan yang secara implisit ada di dalam wacana pembangunan. PD mampu menunjukkan tidak terpisahkannya hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan. Bahwa dalam pengetahuan (wacana) yang dikeluarkan pihak tertentu, selalu berhimpitan dengan motif penguasaan terhadap ‘the others’. Mungkin pernyataan dari Ziai mampu dengan tepat melukiskan kontribusi PD tersebut: “…it has to be said that the trenchant critique of the eurocentrism and power relations implicit in mainstream (and at least partly also in alternative) development discourse remains an important achievement” (2004: 1058).

Penutup
‘Pembangunan’ adalah gagasan Barat yang dilontarkan untuk mengatasi keterbelakangan di Dunia Ketiga. Sejak masa pencerahan hingga pasca PD II, pembangunan telah dilakukan dalam berbagai strategi. Namun, bukannya berkurang, masalah-masalah global justru makin bertambah. Kemiskinan, kesenjangan, degradasi lingkungan, disintegrasi sosial, keterasingan makin massif di penjuru dunia. PD dengan menggunakan pendekatan post-modernisme menolak gagasan pembangunan secara keseluruhan. Mereka melihat bahwa saat ini yang dicari bukanlah ‘pembangunan alternatif’, tapi ‘alternatif bagi pembangunan’. Mereka menginginkan sebuah masyarakat yang majemuk, dimana tiap kelompok masyarakat diorganisasikan oleh mereka sendiri dengan budaya dan pengetahuan lokalnya sendiri.
Berbagai komentar yang ditujukan pada PD nampaknya menunjukkan makin besarnya pengaruh PD. Pada ranah teori, studi literatur pembangunan kontemporer didominasi perdebatan tentang PD. Di ranah praktik, PD telah menginspirasi gerakan popular kaum muda dan masyarakat pribumi di Dunia Ketiga (Amerika Latin, India, Afrika) untuk melawan mainstream pembangunan neo-liberal. PD mampu menunjukkan bahwa gagasan pembangunan adalah khas Barat. Karenanya, upaya untuk melakukan penyeragaman terhadap seluruh wilayah lain di dunia perlu ditolak. PD juga telah menelanjangi hubungan kuasa yang terkandung dalam wacana pembangunan. Pembangunan adalah gagasan yang digunakan Barat untuk mengontrol dan mengendalikan pihak lain (Dunia Ketiga) sesuai keinginan Barat. Pengetahuan (wacana) ternyata tidak lepas dari operasi kekuasaan.

Lalu bagaimana relevansi gagasan ini terhadap pembangunan di Indonesia? Keterbatasan tempat tidak mengijinkan pembahasannya dalam tulisan ini. Hanya yang perlu ditekankan disini adalah pentingnya untuk selalu kritis terhadap agenda ‘pembangunan’. Tidak hanya terhadap lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia, WTO, maupun PBB, namun juga terhadap berbagai Non-Governmental Organization (NGO) internasional yang menjalankan agenda ‘pembangunan’ mereka di Indonesia. Bersikap kritis tentu tidak berarti harus menolak secara keseluruhan. Selanjutnya, Indonesia juga perlu lebih percaya diri dalam merumuskan strategi pembangunan yang berakar dari masyarakat Indonesia sendiri. Terkait hal ini, kita perlu mendorong pengembangan penelitian murni (basic research) ilmu-ilmu sosial yang berakar dalam masyarakat Indonesia. Pengembangan penelitian murni dibutuhkan untuk membangun sebuah ‘mode produksi kebenaran’ baru yang berakar dari kondisi empiris bangsa, dalam rangka kritik wacana ‘pembangunan’. Ini hanya dapat dilakukan jika akademisi ilmu sosial diberikan perhatian dan insentif untuk mengembangkan teori-teori yang kontekstual dan berakar dari Indonesia sendiri. Berbekal ilmu yang kritis dan relevan itu, kita dapat berharap merumuskan ‘pembangunan’ dengan lebih baik. Semoga!

Daftar Pustaka
Brigg, M. (2002). “Post-Development, Foucault and the Colonisation Metaphor”, Third World Quarterly. 23 (3): 421-436.
Easterly, W. (2007). “The Ideology of Development”, Foreign Policy, 161: 31-35
Escobar, A. (1992a). “Imagining a Post-Development Era? Critical Thought, Development and Sosial Movements”, Sosial Text, 31/32: 20-56
--------------------.(1992b). ‘Planning’, dalam Sachs, W (Ed). The Development Dictionary. A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
---------------------. 2000. ‘Beyond the Search for a Paradigm? Post- Development and beyond’. Development. 43: 11–14.
Esteva, G. (1992). ‘Development’, dalam Sachs, W. (Ed), The Development Dictionary. A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Esteva, G. & Prakash, M.S. (1998). ‘Beyond Development, What?‘(Au-delà du développement, qu'y-a-t-il? / Além do desenvolvimento, o que acontece? / Mas allá del desarrollo, ¿Cómo?), Development in Practice, 8 (3): 280-296
Grischow, J. & Mcknight, G.H. (2003). “Rhyming Development: Practising Post-Development in Colonial Ghana and Uganda”, Journal of Historical Sociology, 16 (4).
Kiely, R. (1999). “The Last Refuge of The Noble Savage? A Critical Assement of PD Theory”, The European Joumal of Development Research, 11 (1): 30-55.
Pieterse, J.N. (2000). “After Post-Development”, Third World Quarterly, 21 (2): 175-191.
Rahnema, M. (1997). “Signposts for Post-Development”, ReVision, 19 (4).
Sachs, W. (ed) (1992). The Development Dictionary. A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Ziai, A. (2004). “The Ambivalence of Post-Development: Between Reactionary Populism and Radical Democracy”, Third World Quarterly, 25 (6): 1045-1060.

1 komentar:

  1. Citasi: Habibi, M. 2010. Post-Development: Meninjau Ulang Pembangunan. Dalam Kumorotomo, W dan Widaningrum, A (Ed). Reformasi Aparatur Negara ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media

    BalasHapus